Senin, April 27, 2009

[HOT] Hati-hati dengan dokter !!

Halo rekan-rekan. ..
Ini
tulisan yang mungkin ‘aneh’, saya sebagai seorang dokter justru meminta
rekan-rekan untuk berhati-hati pada dokter. Ini mengikuti tulisan Pak
Irwan Julianto di Kompas 4 Maret 2009 lalu, yaitu mengenai ‘caveat
venditor’ (produsen/penyedia jasa berhati-hatilah) . Link-nya di situs
Kompas

Ceritanya begini, beberapa hari ini saya mengurusi abang saya yang
sakit demam berdarah (DBD). Saya buatkan surat pengantar untuk dirawat
inap di salah satu RS swasta yang terkenal cukup baik pelayanannya.
Sejak masuk UGD saya temani sampai masuk ke kamar perawatan & tiap
hari saya tunggui, jadi sangat saya tau perkembangan kondisinya.

Abang saya paksa dirawat inap karena trombositnya 82 ribu, agak
mengkuatirkan, padahal dia menolak karena merasa diri sudah sehat,
nggak demam, nggak mual, hanya merasa badannya agak lemas.

Mulai di UGD
sudah ‘mencurigakan’ , karena saya nggak menyatakan bahwa saya dokter
pada petugas di RS, jadi saya bisa dengar berbagai keterangan/penjelas
an & pertanyaan dari dokter & perawat yang menurut saya
‘menggelikan’ . Pasien pun diperiksa ulang darahnya, ini masih bisa
saya terima, hasil trombositnya tetap sama, 82 ribu.

Ketika Abang akan di-EKG, dia sudah mulai ‘ribut’ karena Desember
lalu baru tes EKG dengan treadmill dengan hasil sangat baik. Lalu saya
tenangkan bahwa itu prosedur di RS. Yang buat saya heran adalah Abang
harus disuntik obat Ranitidin (obat untuk penyakit lambung), padahal
dia nggak sakit lambung, & nggak mengeluh perih sama sekali. Obat
ini disuntikkan ketika saya ke mengantarkan sampel darah ke lab.

Oleh dokter jaga diberi resep untuk dibeli, diresepkan untuk 3 hari
padahal besok paginya dokter penyakit dalam akan berkunjung &
biasanya obatnya pasti ganti lagi. Belum lagi resepnya pun isinya nggak
tepat untuk DBD. Jadi resep nggak saya beli.

Dokter penyakit dalamnya
setelah saya tanya ke teman yang praktik di RS tersebut dipilihkan yang
dia rekomendasikan, katanya ‘bagus & pintar’, ditambah lagi dia
dokter tetap di RS tersebut, jadi pagi-sore selalu ada di RS.

Malamnya via telepon dokter penyakit dalam beri instruksi periksa
lab macam-macam, setelah saya lihat banyak yang ‘nggak nyambung’, jadi
saya minta Abang untuk hanya setujui sebagian yang masih rasional.

Besoknya, saya datang agak siang, dokter penyakit dalam sudah visite
& nggak komentar apapun soal pemeriksaan lab yang ditolak. Saya
diminta perawat untuk menebus resep ke apotek.

Saya lihat resepnya,
saya langsung bingung, di resep tertulis obat Ondansetron suntik, obat
mual/muntah untuk orang yang sakit kanker & menjalani kemoterapi.
Padahal Abang nggak mual apalagi muntah sama sekali.

Tertulis juga
Ranitidin suntik, yang nggak perlu karena Abang nggak sakit lambung.
Bahkan parasetamol bermerek pun diresepkan lagi padahal Abang sudah
ngomong kalau dia sudah punya banyak..

Saya sampai cek di internet apa ada protokol baru penanganan DBD
yang saya lewatkan atau kegunaan baru dari Ondansetron, ternyata nggak.
Akhirnya saya hanya beli suplemen vitamin aja dari resep.

Pas
saya serahkan obatnya ke perawat, dia tanya ‘obat suntiknya mana?’,
saya jawab bahwa pasien nggak setuju diberi obat-obat itu. Perawatnya
malah seperti menantang, akhirnya dengan terpaksa saya beritau bahwa
saya dokter & saya yang merujuk pasien ke RS, Abang menolak
obat-obat itu setelah tanya pada saya.

Malah saya dipanggil ke nurse
station & diminta tandatangani surat refusal consent (penolakan
pengobatan) oleh kepala perawat.

Saya beritau saja bahwa pasien 100% sadar, jadi harus pasien yang
tandatangani, itu pun setelah dijelaskan oleh dokternya langsung.
Sementara dokter saat visite nggak jelaskan apapun mengenai obat-obat
yang dia berikan. Saya tinggalkan kepala perawat tersebut yang
‘bengong’.

Saat saya tunggu Abang, pasien di sebelah ranjangnya ternyata sakit
DBD juga. Ternyata dia sudah diresepkan 5 botol antibiotik infus yang
mahal & sudah 2 dipakai, padahal kondisi fisik & hasil lab
nggak mendukung dia ada infeksi bakteri.

Pasien tersebut ditangani oleh
dokter penyakit dalam yang lain. Saat dokter penyakit dalam pasien
tersebut visite, dia hanya ngomong ’sakit ya?’, ‘masih panas?’, ‘ya
sudah lanjutkan saja dulu terapinya’, visite nggak sampai 3 menit saya
hitung.

Besoknya dokter penyakit dalam yang tangani Abang visite kembali
& nggak komentar apapun soal penolakan membeli obat yang dia
resepkan. Dia hanya ngomong bahwa kalau trombositnya sudah naik maka
boleh pulang.

Saya jadi membayangkan nggak heran Ponari dkk laris,
karena dokter pun ternyata pengobatannya nggak rasional. Kasihan banyak
pasien yang terpaksa diracun oleh obat-obat yang nggak diperlukan &
dibuat ‘miskin’ untuk membeli obat-obat yang mahal tersebut.

Ini belum
termasuk dokter ahli yang sudah ‘dibayar’ cukup mahal ternyata nggak
banyak menjelaskan pada pasien

sementara kadang kala keluarga sengaja berkumpul & menunggu berjam-jam hanya
untuk menunggu dokter visite.

Abang
sampai ngomong bahwa apa semua pasien harus ditunggui oleh saudaranya
yang dokter supaya nggak dapat pengobatan sembarangan? Abang juga
merasa bersyukur nggak jadi diberi berbagai macam obat yang nggak dia
perlukan & jadi racun di tubuhnya.

Sebulan lalu pun saya pernah menunggui saudara saya yang lain yang
dirawat inap di salah satu RS swasta yang katanya terbaik di salah satu
kota kecil Jateng akibat sakit tifoid. Kejadian serupa terjadi pula,
sangat banyak obat yang nggak rasional diresepkan oleh dokter penyakit
dalamnya.

Kalau ini nggak segera dibereskan, saya nggak bisa menyalahkan
masyarakat kalau mereka lebih memilih pengobatan alternatif atau
berobat ke LN. Semoga bisa berguna sebagai pelajaran berharga untuk
rekan-rekan semua agar berhati-hati & kritis pada pengobatan
dokter.

Regards,
Billy

Tidak ada komentar: